Paketdigital.com – WASHINGTON – Dalam komunikasi pertamanya dengan para pemimpin oposisi Suriah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) sejak penggulingan mantan Presiden Bashar al-Assad, Amerika Serikat (AS) mendesak kelompok yang dimaksud membentuk pemerintahan transisi yang mana inklusif.
Kantor berita Perusahaan Berita Reuters melaporkan hal itu mengutip dua pejabat Negeri Paman Sam dan juga orang ajudan kongres yang tersebut diberi pengarahan tentang hambatan tersebut.
HTS merupakan kelompok yang sebelumnya bersekutu dengan al-Qaeda dan juga ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh AS.
AS melakukan kontak dengan HTS melalui koordinasi dengan sekutu Timur Tengah Washington, termasuk Turki.
“Washington mengomunikasikan mereka itu percaya pemerintahan transisi harus mewakili keinginan rakyat Suriah juga tidaklah akan membantu HTS mengambil alih kendali tanpa proses seleksi formal untuk pemimpin baru,” ungkap para pejabat.
Sumber anonim yang dimaksud menolak mengungkapkan apakah arahan yang disebutkan dikirim secara secara langsung atau melalui perantara.
Gedung Putih juga berhubungan dengan kelompok Presiden terpilih Donald Trump yang digunakan akan datang tentang situasi pada Suriah, salah satu pejabat menambahkan.
Sementara itu, Awal Menteri Suriah yang digunakan baru Mohammed al-Bashir mengungkapkan telah dilakukan terjadi pertemuan antara unsur-unsur rezim lama, para perwira, lalu para pendatang baru.
Namun, masih ada beberapa kekhawatiran. “Ketika kita berbicara tentang oposisi, kita tidaklah berbicara tentang satu entitas. Itu adalah koalisi dari berbagai faksi, tetapi yang digunakan paling dominan secara militer adalah Hayat Tahrir al-Sham, atau HTS,” papar laporan jurnalis Al Jazeera.
Namun dengan menunjuk al-Bashir, sekutu dekat Ahmed al-Sharaa, yang tersebut lebih besar dikenal sebagai Abu Mohammed al-Julani, HTS juga menjadi kekuatan urusan politik yang dimaksud paling menonjol.
Dan sekarang, pertanyaannya adalah apakah Suriah yang baru akan menjadi negara yang digunakan demokratis, apakah akan cukup inklusif, apakah berbagai faksi oposisi serta berbagai segmen rakyat akan terwakili secara adil atau tidak, kemudian apakah warga Suriah dari berbagai bagian negara akan miliki tempat duduk di tempat meja baru ini atau tidak.
Dan tentu saja, yang tersebut lebih lanjut penting, apakah koalisi oposisi ini akan mampu menjaga koherensi serta tak membiarkan pertikaian internal meletus menjadi kekerasan. Semua pertanyaan ini masih harus dijawab.