Paketdigital.com – JAKARTA – Pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan juga Presiden China Xi Jinping diperkirakan akan menjadi tatap muka terakhir selama masa jabatan Biden. Sementara, Beijing bersiap menghadapi kepemimpinan Presiden terpilih Donald Trump di tempat Washington.
Kedua pemimpin ini mengunjungi konferensi para kepala negara kelompok Kerjasama Perekonomian Asia Pasifik (APEC) dalam Lima, Peru, yang dimulai pada hari hari terakhir pekan (15/11). Pertemuan hari Hari Sabtu (16/11) menjadi konferensi ketiga kalinya bagi keduanya bertemu secara segera sejak Biden menjabat.
Hubungan antara China kemudian AS, negara adidaya paling penting di tempat dunia terus memburuk selama masa jabatan pertama Trump sebagai presiden, ketika ia memulai pertempuran dagang dengan Beijing. Namun, hubungan menjadi semakin tegang di empat tahun terakhir pemerintahan Biden dengan berbagai kesulitan mulai dari pertempuran dagang hingga TikTok.
Pada 2023, Meksiko mengambil alih sikap China sebagai mitra dagang terbesar Amerika Serikat untuk pertama kalinya di 20 tahun terakhir seiring memburuknya hubungan ekonomi. Meski begitu, Biden masih berjuang mempertahankan hubungan stabil dengan Beijing.
Melansir dari Aljazeera, penasihat Ketenteraman Nasional Negeri Paman Sam Jake Sullivan mengatakan, mendekati konferensi di tempat Lima, Peru, Xi juga Biden akan mendiskusikan transisi Gedung Putih kemudian perlunya sikap tenang dari kedua belah pihak di periode tersebut.
Dalam kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini, Trump telah dilakukan mengancam akan memberlakukan tarif 60% untuk semua impor China ke AS. Berikut deskripsi bagaimana hubungan AS-China terus memburuk pada bawah kepemimpinan Biden dan juga apa yang dimaksud akan terjadi dalam bawah kepemimpinan Trump 2.0 .
Trump, pada masa pemerintahan pertama, memulai konflik dagang dengan China pasca menyalahkan Beijing menghadapi praktik-praktik perdagangan yang dimaksud dianggap tidaklah adil, menurutnya berkontribusi pada defisit perdagangan yang besar serta menguntungkan China. Praktik-praktik tersebut, menurut AS, termasuk kerja paksa, pencurian kekayaan intelektual, lalu biaya rendah yang tersebut tidak ada adil yang dimaksud merugikan produsen AS. China pun sudah pernah lama membantah tuduhan-tuduhan ini.
Sejak Januari 2018, pemerintahan Trump memberlakukan tarif yang mana tambahan tinggi untuk impor China dengan tarif antara 10-25% pada bawah Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan. Beijing menuduh Washington melakukan proteksionisme nasionalis serta membalas dengan tarif yang lebih lanjut tinggi pada impor AS.
Namun, mendekati akhir masa jabatan pertama Trump, kedua negara menyetujui sebuah kesepakatan yang tersebut akan menciptakan Washington mengempiskan tarif pada beberapa barang. Sebagai gantinya, China berazam untuk meningkatkan hak kekayaan intelektual lalu juga membeli tambahan barang Negeri Paman Sam senilai USD200 miliar pada melawan level tahun 2017 pada akhir 2021.