JAKARTA – Undang-Undang pemilihan kepala daerah digugat ke Mahkamah Konstitusi ( MK ). Ketentuan yang tersebut digugat antara lain mengenai aturan domisili calon hingga adanya kolom kosong di area semua daerah.
Pada Hari Senin (9/9/2024), MK mengatur sidang Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Wali kota Menjadi Undang-Undang atau lebih tinggi dikenal dengan UU pemilihan gubernur terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Permohonan Perkara Nomor 118/PUU-XXII/2024 ini diajukan Abu Rizal Biladina, peserta didik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Menurut Abu Rizal Biladina (Pemohon), Pasal 7 ayat (2) UU Pemilihan Kepala Daerah tidaklah mengakomodir putra area untuk progresif secara adil di kontestasi pilkada.
Sidang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra. Abu Rizal Biladina menjelaskan kerugian konstitusional yang digunakan dialaminya akibat berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada. “Saya mengkaji tambahan di UU pemilihan gubernur ternyata tiada ada unsur lokalitas pada persyaratan UU Pemilihan Kepala Daerah yang digunakan secara eksplisit diatur pada Pasal 7 ayat (2),” ujarnya, dikutipkan dari laman MK, Selasa (10/9/2024).
Menurut dia, ketika bukan ada unsur lokalitas akan berdampak pada kebijakan pada pengerjaan area yang dimaksud bukan didasarkan pada nilai-nilai lokalitas pendekatan yang mana tiada sesuai dengan kondisi area setempat. Berdasarkan kajian yang diadakan Pemohon, terdapat fakta permasalahan unsur lokalitas di persyaratan pencalonan kepala wilayah dikarenakan bukan terdapat persyaratan khusus mengenai unsur lokalitas pada Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada. Hal ini menurut Pemohon memberikan kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat potensial bagi Pemohon lantaran dapat belaka memiliki kepala area yang tersebut tidak ada memahami sensitivitas terhadap isu yang tersebut tumbuh di tempat tempat tersebut.
Pemohon menilai ketiadaan sensitivitas yang dimaksud berdampak untuk kebijakan pada pembangunan area yang dimaksud tak didasarkan pada nilai-nilai lokalitas dengan pendekatan yang dimaksud diadakan bukan sesuai dengan kondisi area setempat. Ketiadaan sensitivitas ini mengancam stabilitas area sebab adanya tendensi ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan kepala daerahnya. Kondisi yang dimaksud dapat dilihat di persoalan hukum konflik penggusuran yang digunakan terjadi di dalam Daerah Khusus Ibukota Indonesia semasa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjabat.
Pemohon pada permohonannya juga merangkum beberapa nama mantan pejabat kepala area yang mana tidak merupakan putra asli daerah. Misalnya, Djarot Saiful Hidayat, politikus yang tersebut lahir di dalam Magelang, Jawa Tengah. Djarot juga menjadi Wakil Gubernur serta Gubernur DKI Jakarta. Kemudian, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang digunakan lahir juga berkembang besar di area Belitung. Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI Ibukota Indonesia dari 2012 hingga 2014, kemudian menjabat sebagai Gubernur DKI Ibukota dari 2014 hingga 2017. Pemohon juga mengumumkan nama Joko Widodo (Jokowi), yang digunakan lahir lalu besar di area Surakarta, menjabat sebagai Gubernur DKI Ibukota Indonesia dari 2012 hingga 2014.
Dalam petitum, Pemohon memohon MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) UU pemilihan gubernur bertentangan dengan UUD NRI 1945 juga bukan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidaklah dimaknai “Calon Gubernur dan juga Calon Wakil Gubernur, Calon Kepala Daerah dan juga Calon Wakil Bupati, dan juga Calon Wali kota dan juga Calon Wakil Wali Pusat Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: t. bertempat tinggal di dalam wilayah yang mana menjadi tempat mencalonkan diri sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum penetapan calon”.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyarankan Pemohon untuk meninjau norma Pasal 7 ayat (2) huruf p itu secara detail. “Supaya saudara bisa jadi memperluas kemudian mengembangkannya lebih tinggi fokus pada butir p ini atau saudara menambah ketentuan pada pada permohonan terkait domisili bagi calon kepala area UU Nomor 7 ayat (2),” jelas Ridwan Mansur pada persidangan yang tersebut dilaksanakan di area Ruang Sidang Panel MK.
Majelis Hakim memberikan kesempatan terhadap Pemohon untuk memperbaiki permohonan di jangka waktu 14 hari. Perbaikan permohonan diserahkan ke Kepaniteraan MK paling lambat pada Mulai Pekan 23 September 2024 pukul 15.00 WIB.