JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti peninjauan kembali (PK) yang tersebut diajukan oleh mantan Kepala Daerah Tanah Bumbu, Mardani H Maming . Respons Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto terkait dugaan intervensi kemudian cawe-cawe pada PK yang mana diajukan Mardani dinilai normatif.
“Pernyataan Suharto itu normatif tetapi tidaklah kontekstual dengan kasusnya. Hakim itu benar punya kebebasan, tetapi bukanlah bebas untuk menyimpangi hukum jadi tak boleh juga seenaknya,” ujar dia, Rabu (28/8/2024).
“Kan telah jelas dua Hakim Agung menolak PK. Satu ngotot mengabulkan meskipun yang mengabulkan untuk Ketua Majelis tetap saja tidaklah bisa jadi memaksa hakim-hakim anggotanya,” imbuh dia.
Dengan demikian, lanjut Abdul Fickar, PK yang mana diajukan oleh mantan Bendum PBNU yang disebutkan sangat jelas harus ditolak oleh MA. “Jadi PK itu memang sebenarnya harus ditolak,” tandasnya.
Sekadar informasi, Mardani H Maming mendaftarkan PK pada 6 Juni 2024, bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004. Jaksa KPK Greafik Lioserte beberapa waktu lalu meminta-minta Mahkamah Agung (MA) menolak PK yang tersebut diajukan Mardani Maming.
Dalam permohonan PK itu, salah satu dalil yang dimaksud digunakan Mardani H Maming adalah kekhilafan majelis hakim terkait putusan perkara korupsi IUP Tanah Bumbu yang dimaksud merugikan negara Rp104,3 miliar periode 2014-2020.
“Kami berkesimpulan bukan terdapat satu pun alasan yang mana dijadikan sebuah dasar untuk menyatakan bahwa putusan hakim telah terjadi terdapat kekhilafan. Baik putusan majelis di dalam tingkat pertama, banding maupun kasasi,” kata Greafik.
Sementara, Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suharto membantah adanya anggapan intetvensi di proses PK Mardani H Maming. Suharto menegaskan bahwa Hakim itu merdeka serta mandiri terbebas dari segala intervensi yang mana ada.
“Lho Hakim itu merdeka serta mandiri,” kata dia, Selasa (27/8/2024).